Pengertian Harta Hibah, Warisan, dan Wasiat dan amanah yang terkandung didalamnya .
Orang tua perlu meninggalkan wasiat kepada keluarga, anak dan istrinya supaya nanti sepeninggalnya tidak ada keributan dalam membagi harta warisan.
ini dianjurkan oleh
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Hendaknya sebelum tidur meninggalkan wasiatnya disamping bantalnya.
Ketika tidak bangun kembali, maka seluruh wasiat tersebut telah tertulis di samping bantalnya sehingga tidak terjadi
keributan di dalam membagi harta warisan.
Tetapi ada beberapa kalangan dalam keadaan sehat wal
afiat, hartanya banyak, anaknya banyak, daripada anak
mereka bertengkar “saya bagi harta itu sejak sekarang”.
Karena itu ada pertanyaan, “Bagaimana hukum membagi
harta warisan sebelum meninggal dunia?”
Sebab harta warisan itu hanya ada kalau orangnya sudah
meninggal dunia. Lalu bagaimana seharusnya judul yang
benar? Judul yang benar yaitu “membagi harta sebelum
meninggal dunia”, atau “membagi harta warisan setelah
meninggal dunia.”
Tetapi kenyataannya memang demikian, banyak kalangan
umat Islam yang melakukan pembagian harta sebelum
meninggal, disebabkan orang-orang jujur sudah mulai
sedikit pada hari ini. Bahkan ahli waris sering berebut harta
warisan. Dan tidak sedikit dari ahli waris tersebut ketika
ayah atau ibunya berada di rumah sakit, berkeinginan agar ortu nya cepat mati :(
HIBAH
Harta Pemberian (Hibah) adalah harta yang diberikan oleh
seseorang secara cuma-cuma pada masa hidupnya. (Ibnu
Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, :
6/246)
Pemberian-pemberian sebelum meninggal dunia disebut
dengan hibah, bukan warisan.
Hibah (pemberian) itu sah jika diberikan seseorang dalam
keadaan sehat wal afiat. Ketika khawatir jika anak-anaknya
nanti bertengkar tentang harta warisan, maka ia dibolehkan
untuk membagi hartanya. Misalnya masing-masing anaknya diberikan satu rumah.
Jika seseorang telah menghibahkan sesuatu kepada anaknya atau orang lain, maka detik itu juga hak kepemilikannya
berpindah, walaupun belum ganti nama.
Ganti nama ini sekedar formalitas di negeri kita.
Sebab itu, agar sebuah hibah menjadi sah dan tidak
berpotensi menimbulkan konflik di masa mendatang, maka
haruslah dipenuhi syarat-syarat berikut:
1. Surat Pernyataan Hibah
Orang yang akan memberikan hartanya kepada orang lain
sebagai hibah harus menandatangani surat pernyataan di
atas kertas bermaterai. Di atas pernyataan itu dijelaskan
jenis hartanya, nilainya, dan kepada siapa pemberian itu
ditujukan.
Selain itu, pernyataan itu harus mendapatkan persaksian
dari pihak lain yang dipercaya (hukumnya sunnah dan lebih
baik). Dan terutama sekali juga harus ditandatangani oleh
para calon ahli waris si pemberi hibah agar tidak muncul
masalah di kemudian hari.
Jadi agar hibah tidak menimbulkan konflik, surat pernyataan harus dibuat secara sah dan resmi seperti di notaris .
2. Pengurusan Surat Kepemilikan
Setelah surat pernyataan hibah ditandatangani oleh semua
pihak yang terkait, selanjutnya harus dilengkapi pengurusan surat bukti kepemilikan atas suatu harta.
Misalnya, ketika seorang ayah atau ibunya yang janda menghibahkan rumah kepada anaknya, maka hibah itu baru sah dan resmi secara hukum manakala surat-surat kepemilikan atas rumah itu sudah
diselesaikan. Misalnya, sertifikat rumah itu sudah dibalik-
nama kepada anaknya.
3. Penyerahan Harta
Bila harta itu berupa uang tunai, maka baru bisa disebut
hibah kalau memang sudah diserahkan secara tunai, bukan sekedar baru dijanjikan.
Sebagai pihak yang diberikan hibah, sebaiknya jangan
merasa sudah memiliki harta kalau harta itu secara fisik
belum diserahkan. Kalau baru sekedar omongan, janji,
keinginan, niat dan sejenisnya, harus disadari bahwa semua
itu belum merupakan pemindahan kepemilikan.
Diantara Syarat-Syarat Penghibah
1. Penghibah memiliki sesuatu untuk dihibahkan dan
benar-benar memiliki harta tersebut.
2. Penghibah itu benar-benar ikhlas tidak dipaksa, sebab
hibah itu akad yang mempersyaratkan keridhaan dalam
keabsahannya.
3. Orang yang mendapat hibah, menerima hibah tersebut.
4. Kepemilikan pindah saat hibah diberikan, tidak harus
menunggu meninggal dunia.
Bagaimana dengan saksi? Saksi itu dalam setiap transaksi
hukumnya adalah sunnah namun tidak wajib.
Termasuk dalam jual beli, hutang piutang ataupun hibah.
Namun jika transaksi tersebut
bernilai tinggi/berharga maka mengharuskan menghadirkan saksi karena jauh lebih baik.
Hanya satu saja, yang mewajibkan adanya saksi yaitu dalam akad pernikahan.
WASIAT
Harta Wasiat adalah harta yang diwasiatkan seseorang
sebelum meninggal dunia dan seseorang tersebut baru
berhak menerimanya setelah yang memberi wasiat
meninggal dunia.
(Abu Bakar Al Husaini, Kifayah al
Akhyar, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, hlm 454)
Dalam Al-Quran, Allah Ta’ala berfirman:
.………ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻭﺻﻴﺔ ﻳﻮﺻﻲ ﺑﻬﺎ ﺃﻭ ﺩﻳﻦ …………
“(Pembahagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat oleh
simayit dan sesudah dibayarkan hutangnya.” (An-Nisa’: 11)
ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﺷﻬﺎﺩﺓ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﺇﺫﺍ ﺣﻀﺮ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺍﻟﻤﻮﺕ ﺣﻴﻦ ﺍﻟﻮﺻﻴﺔ ﺍﺛﻨﺎﻥ ﺫﻭﺍ ﻋﺪﻝ
Mayoritas ulama berpendapat bahwa hal
tersebut bukanlah termasuk kategori hibah, tetapi sebagai
wasiat, sehingga harus memperhatikan ketentuan sebagai
berikut:
1. Dia tidak boleh berwasiat kepada ahli waris, seperti:
anak, istri, saudara, karena mereka sudah mendapatkan
jatah dari harta warisan, sebagaimana yang tersebut
dalam hadist: “Tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR.
Ahmad dan Ashabu as-Sunan). Tetapi dibolehkan
berwasiat kepada kerabat yang membutuhkan, maka
dalam hal ini dia mendapatkan dua manfaat, pertama:
Sebagai bantuan bagi yang membutuhkan, kedua:
Sebagai sarana silaturahim.
2. Dia boleh berwasiat kepada orang lain yang bukan
kerabat dan keluarga selama itu membawa maslahat.
3. Wasiat tidak boleh lebih dari 1/3 dari seluruh harta yang
dimilikinya. Dan dikeluarkan setelah diambil biaya dari
pemakaman.
4. Wasiat ini berlaku ketika pemberi wasiat sudah
meninggal dunia.
HARTA WARISAN
Harta Warisan menurut pengertian ulama faraidh adalah
harta yang ditinggalkan oleh mayit. (Shaleh Fauzan, at
Tahqiqat al Mardhiyah fi al Mabahits al Fardhiyah,
Riyadh, Maktabah al Ma’arif, hlm 24).
Jadi harta yang pemiliknya masih hidup bukanlah harta warisan, sehingga
hukumnya berbeda dengan hukum harta warisan.
Di dalam Al-Quran ada beberapa ayat yang secara detail
menyebutkan tentang pembagian waris menurut hukum
Islam , di antaranya adalah An Nisa ayat 11, 12, 176.
Dalil dari sunnah diantaranya,
ﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﻗﺎﻝ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ﺃﻟﺤﻘﻮﺍ
ﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ ﺑﺄﻫﻠﻬﺎ ﻓﻤﺎ ﺑﻘﻲ ﻓﻸﻭﻟﻰ ﺭﺟﻞ ﺫﻛﺮ.
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Bagikanlah harta
peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang
tersisa menjadi hak laki-laki yang paling utama.” (HR.
Bukhari)
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam agar memberikan hak waris kepada ahlinya.
Maka jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang
laki-laki yang paling utama dari ‘ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata
yang digunakan Rasulullah dengan menyebut “dzakar”
setelah kata “rajul”, sedangkan kata “rajul” jelas
menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal ini dimaksudkan
untuk menghindari salah paham, jangan sampai
menafsirkan kata ini hanya untuk orang dewasa dan cukup
umur.
Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan
warisan sebagai ‘ashabah dan menguasai seluruh harta
warisan yang ada jika dia sendirian.
Umpamanya ada seorang bapak atau janda mempunyai anak 10 dan
membagi tanah kepada anak-anaknya, hal ini diperbolehkan
dengan catatan tidak menghibahkan semua hartanya.
Seorang bapak tidak layak memberikan seluruh hartanya
kepada anaknya, sehingga nantinya jika ia meninggal masih mempunyai harta warisan yang ditinggalkan. Bolehlah jika ia memiliki beberapa rumah atau kendaraan, ia berikan
salah satunya untuk dihibahkan kepada anaknya.
Sebagian ulama’ mengatakan diantaranya Hasan Al Bashri
dan Abu Tsaur Rahimahumallahu, “Kalau barang itu berupa
rumah yang tidak bisa dibagi, maka jangan dibagi. Yang
dibagi adalah harta yang bisa dipindah.” Cara bijaknya
adalah dengan menjual rumah warisan tersebut dan hasil
penjualannya tersebut baru dibagi kepada saudara-
saudaranya sesuai dengan ketentuan syari’at.
ﻭﺇﺫﺍ ﺣﻀﺮ ﺍﻟﻘﺴﻤﺔ ﺃﻭﻟﻮﺍ ﺍﻟﻘﺮﺑﻰ ﻭﺍﻟﻴﺘﺎﻣﻰ ﻭﺍﻟﻤﺴﺎﻛﻴﻦ ﻓﺎﺭﺯﻗﻮﻫﻢ ﻣﻨﻪ ﻭﻗﻮﻟﻮﺍ ﻟﻬﻢ ﻗﻮﻻ
ﻣﻌﺮﻭﻓﺎ )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ8 :(
“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat[270],
anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari
harta itu [271] (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang baik.” (An Nisa’: 8)
Jika semua anggota keluarga dapat mengerti tentang bahasan2 diiatas dan dapat mau memahami ayat2 diatas ,dan tidak mengikutkan egonya , maka hibah dan harta warisan akan sampai pada yang berhak ,insyaallah dapat termamfaatkan ,dan kelaurga pun menjadi rukun dan damai sampai anak cucu nanti dan mereka yang membantu lancarnya proses hibah akan lepas dari golongan orang orang yang khianat.
Namun akan Berdosa besarlah bagi pihak2 yang mencoba atau menghalangi sampai nya hibah dan warisan tersebut pada yang berhak , karena sama saja tidak melaksanakan amanat dari orang tua , dan akibatnya bisa berimbas pula pada keturunan mereka berikutnya dengan cerita yang sama . Karma !!!
VE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar